Bismillah...
Ramadhan
baru saja kita lalui. Tentu kita berharap agar pada tahun-tahun mendatang kita
masih diberikan oleh Allah SWT kesempatan bertemu Ramadhan kembali. Spirit
apakah yang seharusnya kita warisi dan lestarikan pasca-Ramadhan?
Sebagai
sebuah madrasah, pendidikan Ramadhan idealnya menjadi momentum mengubah mental
spiritual untuk meningkatkan kualitas hidup sekaligus memperkuat hubungan dan
kedekatan dengan Allah SWT, sehingga kita bisa raih ampunan dan rahmat-Nya
sekaligus tergolong orang-orang bejo (al-faizun).
Ramadhan
menghadirkan nuansa spiritual yang sangat mendalam bahwa Allah SWT selalu
“hadir” bersama kita. Karena itu, spirit ramadhan yang menghadirkan suasana dan
sinyal religiusitas yang kuat ini patut dipertahankan, bahkan ditingkatkan,
misalnya, dengan melanjutkan puasa enam hari di Syawal.
Ramadhan
sejatinya merupakan bulan kebahagiaan. Setidaknya kita perlu mewarisi dan
melestarikan spirit kebahagiaan bersama Ramadhan. Pertama, kebahagiaan fisikal,
berupa kegemberian dan kenikmatan luar biasa saat berbuka setelah menahan diri
tidak makan dan minum. “Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan yaitu
kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya (kelak di
akhirat).”(HR Muslim). Merasa gembira dan nikmat saat makan indikator bahagia
secara fisik.
Kedua,
kebehagiaan intelektual. Selama Ramadhan kita dilatih memperbanyak membaca
Al-Qur’an, belajar Islam, dan sebagainya. Membaca, belajar, dan berlatih diri
berarti memenuhi kebutuhan otak dan akal, sehingga kita bisa merasakan
kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan yang tak dapat diraih makhluk selain
manusia.
Ketiga,
kebahagiaan sosial. Spirit kebersamaan dan berjamaah pada Ramadhan mewarnai
kehidupan spiritual kita. Saat yang sama, kita juga dilatih gemar bersedekah,
berinfak, berbagi, dan berzakat. Sedekah, infak, dan zakat merupakan bentuk
kepedulian sosial untuk kebahagiaan sosial untuk membahagiakan orang lain,
terutama kaum fakir miskin. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak
memberi manfaat bagi orang lain.”(HR at-Thabrani).
Keeempat,kebahagiaan
emosional. Berlatih menahan lapar, dahaga, dan aneka godaan duniawi lainnya
merupakan kebahagiaan psikis yang luar biasa. Mukmin yang bisa bersabar adalah
Mukmin yang bahagia.
Kelima,
kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan ini tercermin pada ketaatan dan ketekunan
kita dalam beribadah kepada Allah SWT. Kedekatan dan “pertemuan spiritual”
inilah yang sesungguhnya membahagiakan diri, lebih-lebih jika kita mendapat
janji Allah berupa “garansi” ampunan-Nya.
Spirit Ramadhan yang bermuara pada kebahagiaan itu idealnya menjadi komitmen
meningkatkan amal ibadah pasca-Ramadhan. Mari kita tindak lanjuti dan
tingkatkan aneka amaliah Ramadhan yang sudah pernah dijalani selama Ramadhan
itu dalam 11 bulan berikutnya dengan ber-fastabiqul
khairat menuju ridha-Nya. Muhbib Abdul Wahab