DARI
balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama
empat adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya, Mohammad
Natsir, dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga
ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka.
Lies panggilan Siti menyangka mobil Chevrolet Impala yang sudah
terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S.
Cokroaminoto), Jakar-ta Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan
besar- buatan Amerika ini tergolong “wah” pada 1956. Saat itu Natsir,
yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya
mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.
Aba-demikian anak-anaknya memanggil Natsir-ketika itu masih anggota
parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. “Dia ingin membantu Aba karena
mobil yang ada kurang memadai,” kata putri tertua Natsir yang saat itu
baru masuk usia 20 tahun.
Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar saat ayah mereka menolak
tawaran dengan amat halus agar tidak menyinggung perasaan tamunya.
“Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” Lies
menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya.
Nasihat itu begitu membekas di hati Lies, kini 72 tahun. Aba dan Ummi
Nurnahar-ibunda Lies-selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Cukupkan
yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”