Assalamu'alaikum Warahmatullahi
Artikel
ini diambil dari tulisan A Ilyas Islmail dalam rubrik Hikmah Republika edisi
Selasa, 16 April 2013. Semoga bermanfaat.
Suatu
hari, Abu Thalhah RA asyik bekerja di kebunnya. Saking asyiknya berkebun, ia
tak menyadari bahwa matahari sudah diujung pepohonan atau hampir terbenam.
Mengetahui hal itu, pacul dan berbagai perlengkapan pertanian segera ia
singkirkan. Buru-buru ia pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Ashar.
Beruntung ia masih bisa shalat Ashar meski sangat mepet,sudah di ujung waktu.
Seusai
shalat, ia lari menemui Rasulullah SAW sambil menangis tersedu-sedu. Ia mengadu
kepada Rasulullah. “Binasa Abu Thalhah, wahai Rasul Allah. Gara-gara berkebun,
aku hampir tak bisa shalat Ashar, kecuali saat matahari sudah terbenam. Karena
itu, kebun tersebut dan segala isinya aku sedekahkan untuk Allah”[Sayr A’lam al-Nubala’, Abu Thalhah].
Abu
Thalhah RA dikenal sebagai salah seorang sahabat Rasul yang sangat mulia dan
dermawan. Apa yang diperlihatkannya dalam kisah di atas, memberikan inspirasi dan
teladan berharga bagi kita semua. Setidaknya ada 4 hal yang layak diteladani
dari sikapnya yang menyedekahkan kebun karena hal itu telah melalaikannya dari
mengingat Allah SWT.
Pertama, kemampuan membuat dan memahami skala prioritas (fiqh al-awlawiyat). Orang mukmin, seperti
ditunjukkan Abu Thalhah, mesti tahu hal yang sangat penting (al-aham), lalu yang agak penting (tsumm al-aham), dan seterusnya. Bekerja,
seperti berbisnis dan berkebun tidak dilarang, bahkan diperintahkan. Akan
tetapi, ketika waktu shalat tiba, hal pokok yang mesti dilakukan adalah shalat.
“Ash-shalat-u ‘alaa waqtiha”,
demikian pesan Nabi SAW.
Kedua, kemampuan menjaga dan memelihara shalat. Dalam Al-Qur’an, seperti
diketahui perintah shalat dikemukakan dengan beberapa istilah. Diantaranya
dengan kata mendirikan (iqamat al-shalah),
menjaga dan memelihara (muhafazhah),
melakukan dan mengerjakan dengan kontinu (mudawamah).
Dan puncak ialah khusyuk dalam shalat (QS Al-Mu’minun [23]:2). Karena itu, tak
seorang pun boleh bermain-main dengan shalat, kecuali diancam neraka Wail. (QS
al-Ma’un [107]:4-7).
Ketiga, kemampuan melakukan evaluasi diri sehingga diketahui dan
disadari keterbatasan dan kelemahan diri (taqshir). Abu Thalhah sadar betul
bahwa ibadah shlat harus dilakukan dengan semangat maksimal,bukan minimal. Itu
sebabnya kesadaran tentang adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam
shalat, membuatnya harus menambal dengan kebaikan lain, yaitu memberikan kebun
terbaiknya untuk Allah SWT.
Keempat, kemampuan melatih dan mendidik diri sendiri. Abu Thalhah tak hanya
menyesal dan menangis atas hilangnya kesempatan, tetapi ia mampu membuat peluang
baru dan melipatgandakannya menjadi kebaikan yang lebih besar. Ini merupakan
pendidikan diri yang tak hanya inovatif tetapi juga inspiratif. Wallahu a’lam.
Mari kaum muslim seluruh alam kuatkan
pertahanan internal kita ketimbang terus saja mengurusi musuh-musuh Islam.
Kalau dari internal kita sudah kuat, sekuat apapun musuh-musuh Islam melawan
tidak ada pengaruhnya. Mari mulai dari shalat. Sudah khusyukkah shalat kita?
Alhamdulillah...:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar